Sabtu, 30 Oktober 2010

Pernikahan

   Hari pernikahanku telah ditentukan. Undanganpun tinggal disebar. Tapi aku merasakan keraguan muncul di hatiku. Ada apa ini? Apakah karena aku akan menikah dengan mantan suami kakakku?

Rabu, 27 Oktober 2010

Cinta Pertama

  Aku mulai mengisikan bensin ke mobil silver mentereng di depanku ini. Saat itu aku melihat dia, gadis manis berkacamata yang menjadi cinta pertamaku. Aku hampir saja memberanikan diri untuk menyapanya namun aku membatalkan niatku saat aku melihat pria yang duduk di sebelahnya menggenggam tangannya dengan erat. Saat mobil itu berlalu, salah satu temanku berkata "Hei, jangan pesimis dulu. Belum tentu dia cowoknya. Kali aja kakaknya." Aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Aku mengenal dia lebih dari sepuluh tahun yang lalu dan aku tahu dia anak tunggal.

Sabtu, 23 Oktober 2010

Finalti

   "Priiiiiitttt!!!" Wasit meniup peluit dan kemudian menunjuk titik putih di kotak finalti. Aku rasa itu adalah keputusan yang tepat karena teman satu timku, Gian, telah di tackle dengan begitu keras oleh pemain bernomor punggung 9 dari tim lawan. Akibatnya Gian harus ditarik dari lapangan karena mengalami cedera yang cukup parah di kaki kiri yang selama ini menjadi andalannya. Sedangkan pemain bernomor punggung 9 itu diberi kartu merah karena memprotes keputusan wasit.
   Dan yang terberat adalah aku dipercaya untuk mengeksekusi tendangan finalti ini. Ini adalah pengalaman pertamaku menjadi eksekutor tendangan finalti. Aku benar-benar grogi. Aku tidak yakin apakah aku bisa mengeksekusinya dengan baik atau tidak. Ah, aku harus menyingkirkan pikiran-pikiran itu. Ini adalah kesempatan emas untuk membalikkan keadaan karena kami tidak akan mungkin masuk ke babak selanjutnya dengan hasil seri seperti ini. Selain itu tentunya perjuangan Gian memasuki daerah finalti akan menjadi hal yang sia-sia jika aku tidak memanfaatkan peluang di sisa waktu babak kedua ini dengan baik.
   Maka saat wasit meniup peluitnya, aku mengayunkan kakiku dengan mantap.

Senin, 11 Oktober 2010

Permintaan Terakhir

   Aku merasa heran pada diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku meng-iya-kan permintaan seorang wanita tua yang tidak aku kenal dan tidak aku ketahui namanya. Mungkin karena itu adalah permintaan terakhirnya, karena tidak lama setelah mengutarakan permintaannya, wanita malang itu meninggal. 
   Kini aku memandangi foto di tanganku ini untuk yang kesekian kalinya. Di sana tampak seorang gadis kecil yang sedang tersenyum sambil memeluk tasnya. Gadis kecil itu sangat manis. Sayangnya tidak ada keterangan apa-apa yang bisa kujadikan petunjuk,  hanya ada satu kalimat "Kenangan di Monas, 15 Juni 1996". Jadi mungkinkah aku harus memulai pencarianku dari sana, dari kota besar di pulau Jawa itu? Sejenak aku berpikir, kemudian aku terngiang kembali perkataan wanita tua itu sebelum meninggal "Ini putri saya, Fina, tolong cari dia dan katakan bahwa saya sangat menyayanginya."
   Kalau begitu, sudah saatnya aku pergi merantau.

Selasa, 05 Oktober 2010

Gadis Bodoh

   Sekarang aku sedang berdiri di atap gedung berlantai 30 ini. Aku akan terjun dari sini. Ya, aku akan bunuh diri. Aku sudah tidak kuat lagi dengan kehidupanku. Tunanganku pergi dengan wanita lain. Teman-temanku juga telah pergi meninggalkan aku. Sedangkan orang tuaku sudah tidak lagi memperhatikan aku. Jadi untuk apa lagi aku tetap hidup?
   Kini aku bersiap untuk meloncat. Tapi tiba-tiba ada seseorang yang mencengkeram lengan kananku dengan kuat dan ia membawaku ke dalam pelukannya.
   "Dasar gadis bodoh! Kau masih punya aku!"

Ibu Guru

   Hari ini adalah hari pertamaku bekerja di rumah sakit jiwa ini. Seorang dokter senior menemaniku untuk melihat-lihat lingkungan di sekitar rumah sakit. Saat kami sampai di salah satu taman, aku melihat seorang wanita tua berpakaian lusuh yang sedang asik berbicara sendiri. Aku merasa mengenali wanita itu, maka akupun mendekatinya.
   Aku begitu terkejut. Ternyata wanita itu adalah ibu Surtinah. Ibu guru Surtinah. Orang yang dulu telah mengajariku A B C D.

Selasa, 28 September 2010

Lelah

   Tahukah kau bahwa aku begitu lelah? Aku begitu lelah untuk menunggumu. Kapan kau akan datang dan menyematkan cincin itu di jariku? Sedangkan bilangan umurku setiap hari semakin bertambah.

Senin, 27 September 2010

Seorang Pria Muda

   Aku menyipitkan mata karena silaunya cahaya matahari yang memantul lewat kaca-kaca mobil dan lewat genangan air sisa hujan semalam. Saat iring-iringan mobil telah berlalu, aku melangkah untuk menyeberang. Namun seseorang mencengkeram lengan kiriku.
   "Maya.."
   Kurasa dia tidak benar-benar memanggilku karena itu bukan namaku. Namun cengkeramannya makin kuat, jadi aku memutuskan untuk berbalik.
   Tangan itu ternyata milik seorang pria muda yang kurasa usianya tak lebih dari 30 tahun. namun aku tidak mengenalnya.
   "Maya, jangan pergi."
   Wajahnya mengiba dan matanya mengisyaratkan kepedihan yang mendalam. Tapi, aku harus mengatakannya juga.
   "Maaf, sepertinya anda salah orang."
   "Kumohon, jangan mengelak, Maya."
   Dan aku hampir saja berniat untuk berontak saat kemudian muncul dua orang perawat dan seorang wanita separo baya yang datang menghampiri kami.
   Dua perawat tadi dengan cekatan segera mengurus si pria muda, sedangkan wanita separo baya itu mendekatiku dengan raut muka penuh penyesalan.
   "Maafkan putra saya. Jiwanya agak terganggu."
   "Oh!" Aku merasa iba mendengarnya.
   "Sekali lagi, tolong maafkan dia." Dan wanita itupun kemudian berlalu menuju putranya.
   Sebelum menyeberang, aku menatap pria muda itu lagi, dan ternyata dia juga sedang menatapku.
   Ah, sejujurnya dia adalah pria yang sangat tampan.

Pembunuh Tak Terbunuh

   Sejatinya aku adalah seorang pembunuh. Sungguh-sungguh pembunuh berdarah dingin. Aku bahkan tidak perlu menggunakan senjata karena aku dapat membunuh dengan begitu mudah. Dan korbanpun berjatuhan.
   Aku adalah pembunuh ibuku karena ia telah melahirkanku dengan susah payah, sehingga ia kehilangan banyak darah.
   Aku adalah pembunuh kakekku karena aku telah meninggalkan pria tua dan lemah itu sendirian di rumah, sehingga tak ada yang menolongnya saat ia terpeleset dari tangga.
   Aku adalah pembunuh adik kecilku karena aku terlambat menjemputnya dari sekolah, sehingga ia nekat menyeberang jalan raya sendirian.
   Aku adalah pembunuh nenekku karena aku telah mengabarkan kematian cucu kesayangannya, sehingga ia terserang penyakit jantung.
   Dan aku adalah pembunuh ayahku karena ia telah menyimpulkan bahwa aku adalah penyebab kematian orang-orang yang dicintainya, sehingga ia kalut dan menenggak begitu banyak obat tidur.
   Sayangnya, sangat sulit untuk membunuh diriku sendiri. Ada saja yang dapat menghalangiku. Kini aku sedang menunggu waktu yang tepat.

Keterlambatan

   Aku menatap jam tanganku untuk kesekian kalinya. Pukul 15.42 WIB. Seharusnya dia sudah ada di sini beberapa menit yang lalu, tapi dia tak kunjung datang. Aku tahu kalau dia sering terlambat, tapi biasanya tidak lebih dari 10 menit. Sedangkan sekarang sudah lebih dari setengah jam. Akupun kembali mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Dan aku gembira saat melihatnya datang. Dia menghampiriku dengan tergopoh-gopoh.
   "Maaf, aku sangat terlambat. Hari ini kekasihku kembali dari luar kota. Jadi aku menemuinya terlebih dahulu."
   Dan hatikupun hancur berkeping-keping.

Frustasi

   Aku membolak-balik halaman buku ini berkali-kali dengan gelisah. Mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di dalam pikiranku. Tapi aku tidak juga menemukan apa yang kucari. Maka kututup buku tebal itu dengan keras dan kubanting ke meja. kemudian aku keluar dari perpustakaan dengan diiringi tatapan heran pengunjung lainnya.
   Sungguh, seumur hidupku, aku belum pernah merasa sefrustasi ini.

Sang Penari

   Di luar, aku menatapmu tanpa berkedip. Kau begitu anggun dalam sholatmu. Kau tidak seperti seorang hamba yang sedang menghadap sang Penciptanya. Kau lebih seperti seorang penari yang tengah menari dengan begitu gemulai. Ingin sekali aku berada di dekatmu dan menari bersamamu. Tapi, bahkan kaupun juga tahu, aku tidak mungkin masuk ke dalam masjid ini.