Jumat, 30 September 2011

Yang Menyilaukan Mata

            Tidak seperti biasanya, minggu pagi ini begitu berkabut. Aku pun menjadi agak ragu untuk mengantarkan sayur-sayur ini ke langgananku. Tapi apa kata mereka nanti kalau sayur ini tidak segera sampai di tangan mereka. Bisa-bisa aku kehilangan pelanggan, dan pastinya itu akan megurangi pendapatanku. Jadi aku pun membulatkan tekad untuk melakukan aktivitas seperti biasa.
Setelah mengecup kening istriku, aku mulai melajukan sepeda motorku yang penuh dengan berbagai macam sayuran. Kuabaikan rasa dingin yang menusuk tulang dan pandangan suram karena kabut tebal. Sudah terbayang sejumlah uang yang akan aku dapat dari langgananku pagi ini. Uang itu akan kupakai untuk membayar biaya perawatan putraku yang sedang terbaring lemah di rumah sakit. Terbayang pula senyum istriku yang bisa pergi ke pasar untuk membeli bahan kebutuhan pokok. Pemilik rumah yang aku kontrak juga pastinya tidak akan cemberut lagi. Wajahnya akan cerah dan terang benderang, bahkan sangat menyilaukan mataku.
           Tiba-tiba aku tersadar dari lamunanku, bukan wajah si pemilik rumah yang telah menyilaukan mataku, tapi lampu truk pengangkut kayu yang kini berada persis di depanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar